Keberpihakan Intelektual Organik
Oleh: Salman Al Farisi
ISTILAH intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang
mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas
terjadinya gap antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran
intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari
itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak.
Dalam studi civil society, beberapa komponen masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai aktor gerakan masyarakat sipil (GMS) di antaranya adalah cendekiawan, LSM, pers/media, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil (non-interest groups).
Dalam struktur sosial, meski belum betul-betul membumi, komponen-komponen itu sering disebut intelektual organik.
Reformasi merupakan satu fase yang sedikit banyak lahir dari upaya intelektual organik. Berbagai gerakan perlawanan terhadap keberadaan negara (state) yang eksploitatif mereka lakukan.
Misalnya, gerakan penyadaran HAM, jender, penyelamatan lingkungan, dan pemberantasan korupsi. Karena itu, tidak mengherankan jika perlawanan itu selalu berakhir dengan kenyataan pahit, seperti mulai dengan pembredelan SIUPP pers/media sampai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM.
"Frozen resistance"
Memasuki era reformasi yang mulai compang-camping, gerakan intelektual organik mulai menunjukkan titik beku meski sebenarnya mereka enggan untuk muncul di permukaan. Namun, kini berbagai proses demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat sipil mulai memperlihatkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan.
Bekunya gerakan itu bisa dilihat dari sisi kemasan isu dan dana. Beberapa isu yang diangkat dalam hampir bisa dipastikan semuanya merupakan isu yang sudah di set-up di negara maju (Core State). Dengan demikian, isu yang diwacanakan lebih bersifat titipan meski ada juga yang bergerak dengan isu yang dikemas secara mandiri.
Sebagaimana diketahui, beberapa aktivitas intelektual organik dalam GMS tidak lepas dari masalah pendanaan. Secara institusional dan individual, keberadaan GMS, diakui atau tidak, sangat bergantung pada kucuran dana yang diperoleh dari funding agencies.
Akibatnya, beberapa isu yang akan diangkat intelektual organik setidaknya harus menyesuaikan dulu dengan isu atau program yang dimiliki oleh funding agencies.
Karena itu, wajar jika beberapa isu yang diangkat lebih banyak mencerminkan isu global yang seringkali tidak memiliki ikatan emosional dengan masyarakat lokal yang diperjuangkannya.
Dengan isu global itu, intelektual organik-dengan tanpa sadar-sebenarnya lebih banyak mengusung wacana yang dihadapi dan terjadi di negara-negara maju ketimbang masalah yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat sipil di negara berkembang (periphery).
Kurang waspadanya intelektual organik dalam mengangkat isu itu akhirnya ikut mempengaruhi struktur mental dan pengetahuan mereka. Dalam struktur mentalnya, mereka seringkali menempatkan dirinya sebagai Ratu Adil yang jika tanpa dirinya, persoalan itu tidak akan selesai.
Bahkan, dengan keyakinan yang amat tinggi mereka menganggap masyarakat sebagai obyek, sehingga masyarakat perlu disadarkan dari kelelapannya.
Dengan kondisi struktur mental dan pengetahuan seperti itu, intelektual organik seringkali bersikap dan berperilaku lumpen borjuis, yang dengan gaya hidupnya mereka sengaja mengidealkan diri mereka sebagai kelas trans-nasional, yang justeru sebenarnya malah semakin menjauhkan diri mereka dari kenyataan.
Dengan kondisi mental yang cenderung elitis, lugu dalam menangkap isu dan rendah dalam tingkat kesejahteraan, tidak salah jika sebagian masyarakat ada yang menganggap perjuangan mereka tidak lebih sebagai bentuk kepanjangan tangan dari sistem besar, yaitu kapitalisme global.
Anggapan ini terutama dapat kita lihat dari kecenderungan intelektual organik yang memiliki ?cita-cita besar" untuk masuk media atau menjadikan media sebagai faktor utama dalam sosialisasi diri dan statusnya dengan cara menumpang hidup dari wacana yang diusungnya.
Wawancara dan advokasi mereka tak ubahnya selebrasi dari panggung besar bernama demokratisasi. Intinya, dengan masuk media, kelas terdidik menganggap, tugasnya sebagai agen pencerahan telah selesai.
Apa yang kita lihat dalam struktur mental dan pengetahuan intelektual organik dalam GMS akhirnya menyakinkan kita tentang struktur berpikir kelas terdidik yang didominasi nalar negara yang bertendensi menguasai nalar masyarakat.
Dengan model nalar negara itu, intelektual organik tidak saja melanggengkan kehendak untuk benar (will to truth), tetapi juga telah menggeser dirinya berkehendak untuk berkuasa (will to power).
Bergesernya peran mereka-dari agen pencerahan menjadi pelanggeng hegemoni-terjadi seiring dengan semakin kuatnya budaya patron di kalangan kelas terdidik yang tidak lain untuk kepentingan eksistensi diri, status dan akumulasi modal. Disinilah, doktrin knowledge is power benar-benar dipahami dan dijalankan dengan pragmatis dan ironis.
Banyaknya intelektual organik yang kini banyak menjadi dewan pakar di partai-partai politik sebenarnya merupakan satu langkah mulia, yaitu untuk memberi warna baru dalam perpolitikan.
Tetapi fakta di lapangan sering berbicara lain. Perpindahan intelektual organik dari GMS (civil society) ke partai (political society), sebaliknya, lebih cenderung menjadi penyokong dari setiap kebijakan politisi urakan. Mereka oleh Noam chomsky disebut dengan secular priesthood, yaitu intelektual yang tugasnya menyiapkan dasar legitimasi kekuasaan dan kebijakan partai-partai politik.
Karena itu, adalah suatu hal yang wajar jika kini distribusi pengetahuan dan kontribusi intelektual organik terhadap penyadaran dan penguatan GMS dipertanyakan.
Terjadinya disorientasi kebangkitan kelas terdidik di tengah kondisi kehidupan negara dan masyarakat yang serba ambigu ini akhirnya akan membuktikan kata-kata Edward Said yang menyebut mereka sebagai ?imperialis terdidik" baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam studi civil society, beberapa komponen masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai aktor gerakan masyarakat sipil (GMS) di antaranya adalah cendekiawan, LSM, pers/media, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil (non-interest groups).
Dalam struktur sosial, meski belum betul-betul membumi, komponen-komponen itu sering disebut intelektual organik.
Reformasi merupakan satu fase yang sedikit banyak lahir dari upaya intelektual organik. Berbagai gerakan perlawanan terhadap keberadaan negara (state) yang eksploitatif mereka lakukan.
Misalnya, gerakan penyadaran HAM, jender, penyelamatan lingkungan, dan pemberantasan korupsi. Karena itu, tidak mengherankan jika perlawanan itu selalu berakhir dengan kenyataan pahit, seperti mulai dengan pembredelan SIUPP pers/media sampai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM.
"Frozen resistance"
Memasuki era reformasi yang mulai compang-camping, gerakan intelektual organik mulai menunjukkan titik beku meski sebenarnya mereka enggan untuk muncul di permukaan. Namun, kini berbagai proses demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat sipil mulai memperlihatkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan.
Bekunya gerakan itu bisa dilihat dari sisi kemasan isu dan dana. Beberapa isu yang diangkat dalam hampir bisa dipastikan semuanya merupakan isu yang sudah di set-up di negara maju (Core State). Dengan demikian, isu yang diwacanakan lebih bersifat titipan meski ada juga yang bergerak dengan isu yang dikemas secara mandiri.
Sebagaimana diketahui, beberapa aktivitas intelektual organik dalam GMS tidak lepas dari masalah pendanaan. Secara institusional dan individual, keberadaan GMS, diakui atau tidak, sangat bergantung pada kucuran dana yang diperoleh dari funding agencies.
Akibatnya, beberapa isu yang akan diangkat intelektual organik setidaknya harus menyesuaikan dulu dengan isu atau program yang dimiliki oleh funding agencies.
Karena itu, wajar jika beberapa isu yang diangkat lebih banyak mencerminkan isu global yang seringkali tidak memiliki ikatan emosional dengan masyarakat lokal yang diperjuangkannya.
Dengan isu global itu, intelektual organik-dengan tanpa sadar-sebenarnya lebih banyak mengusung wacana yang dihadapi dan terjadi di negara-negara maju ketimbang masalah yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat sipil di negara berkembang (periphery).
Kurang waspadanya intelektual organik dalam mengangkat isu itu akhirnya ikut mempengaruhi struktur mental dan pengetahuan mereka. Dalam struktur mentalnya, mereka seringkali menempatkan dirinya sebagai Ratu Adil yang jika tanpa dirinya, persoalan itu tidak akan selesai.
Bahkan, dengan keyakinan yang amat tinggi mereka menganggap masyarakat sebagai obyek, sehingga masyarakat perlu disadarkan dari kelelapannya.
Dengan kondisi struktur mental dan pengetahuan seperti itu, intelektual organik seringkali bersikap dan berperilaku lumpen borjuis, yang dengan gaya hidupnya mereka sengaja mengidealkan diri mereka sebagai kelas trans-nasional, yang justeru sebenarnya malah semakin menjauhkan diri mereka dari kenyataan.
Dengan kondisi mental yang cenderung elitis, lugu dalam menangkap isu dan rendah dalam tingkat kesejahteraan, tidak salah jika sebagian masyarakat ada yang menganggap perjuangan mereka tidak lebih sebagai bentuk kepanjangan tangan dari sistem besar, yaitu kapitalisme global.
Anggapan ini terutama dapat kita lihat dari kecenderungan intelektual organik yang memiliki ?cita-cita besar" untuk masuk media atau menjadikan media sebagai faktor utama dalam sosialisasi diri dan statusnya dengan cara menumpang hidup dari wacana yang diusungnya.
Wawancara dan advokasi mereka tak ubahnya selebrasi dari panggung besar bernama demokratisasi. Intinya, dengan masuk media, kelas terdidik menganggap, tugasnya sebagai agen pencerahan telah selesai.
Apa yang kita lihat dalam struktur mental dan pengetahuan intelektual organik dalam GMS akhirnya menyakinkan kita tentang struktur berpikir kelas terdidik yang didominasi nalar negara yang bertendensi menguasai nalar masyarakat.
Dengan model nalar negara itu, intelektual organik tidak saja melanggengkan kehendak untuk benar (will to truth), tetapi juga telah menggeser dirinya berkehendak untuk berkuasa (will to power).
Bergesernya peran mereka-dari agen pencerahan menjadi pelanggeng hegemoni-terjadi seiring dengan semakin kuatnya budaya patron di kalangan kelas terdidik yang tidak lain untuk kepentingan eksistensi diri, status dan akumulasi modal. Disinilah, doktrin knowledge is power benar-benar dipahami dan dijalankan dengan pragmatis dan ironis.
Banyaknya intelektual organik yang kini banyak menjadi dewan pakar di partai-partai politik sebenarnya merupakan satu langkah mulia, yaitu untuk memberi warna baru dalam perpolitikan.
Tetapi fakta di lapangan sering berbicara lain. Perpindahan intelektual organik dari GMS (civil society) ke partai (political society), sebaliknya, lebih cenderung menjadi penyokong dari setiap kebijakan politisi urakan. Mereka oleh Noam chomsky disebut dengan secular priesthood, yaitu intelektual yang tugasnya menyiapkan dasar legitimasi kekuasaan dan kebijakan partai-partai politik.
Karena itu, adalah suatu hal yang wajar jika kini distribusi pengetahuan dan kontribusi intelektual organik terhadap penyadaran dan penguatan GMS dipertanyakan.
Terjadinya disorientasi kebangkitan kelas terdidik di tengah kondisi kehidupan negara dan masyarakat yang serba ambigu ini akhirnya akan membuktikan kata-kata Edward Said yang menyebut mereka sebagai ?imperialis terdidik" baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ibarat marsose di zaman kolonial, intelektual organik tidak saja melanggengkan kolonialisme dari Negara Pertama terhadap Negara Ketiga, tetapi juga telah menciptakan kolonialisme dan imprealisme pikiran, yaitu dari kelas uneducated people menjadi well informed people. Well informed people disini bukan berarti mereka saja yang bisa sekolah ke luar negeri, tapi bisa juga intelektual dalam negeri yang sering memberi legitimasi atas terjadinya pembekuan kebangkitan kelas terdidik, seperti mencari patron.
Demikian pula dengan uneducated people. Sebutan ini bukan hanya untuk mereka yang tidak mendapatkan akses dalam pendidikan, tetapi juga termasuk mereka yang secara tidak sadar telah terkooptasi struktur mental dan pengetahuannya oleh struktur negara, sehingga tidak ada lagi kemampuan dan keinginan untuk bergerak secara mandiri.
Karena itu, kaum intelektual organik harus menyadari betul bahwa berdiri di posisi ini bukan berarti kita bebas nilai dan netral, tetapi adakalanya kita bisa terjerumus secara tidak sadar ke dalam sistem yang eksploitatif dan manipulatif.
Lalu, sudahkah kita merenung apa yang telah kita pikirkan dan lakukan kemarin?
Salman Al Farisi Technical Assistant LEMLITBANG PonPes Nazhatut Thullab Sampang; Jaringan Komisi (JARKOM)Fatwa Surabaya
Category:
0 komentar