Kisah Penggali Kubur
Disebuah desa, sebut saja desa itu sesa
adakedabra—ada beberapa orang yang menjadikan pekerjaan mengali kubur sebagai
profesi final. Pada beberapa orang inilah terdapat beberapa karakter khusus dan
kebiasaan “menarik” berkaitan dengan pekerjaan sebagai tukang gali persemayaman
orang yang baru meninggal dunia. Apa sifat “istimewa” dan tradisi unik mereka?
Para tukang gali kubur itu kan baru bisa mendapatkan uang bila ada orang
yang meninggal dunia. Semakin banyak orang yang meninggal, maka semakin banyak
pula pundi-pundi rezekinya.
Setiap hari mereka berharap ada orang
yang dikunjungi oleh izrail, sang pencabut nyawa. Mereka akan kegirangan dan
bersuka-cita bila dapat menghantarkan sebanyak mungkin orang menghadap Tuhan,
menyediakan ruangan bagi orang yang hendak menginap di alam barzakh.
Apa yang dilakukan para tukang gali kubur
ini ketika liang lahat telah usai dan mayat-mayat mulai di masukkan satu
persatu ke ruang-ruang mereka bersamaan dengan isak tangis keluarga dan para
pelayat. Mereka duduk digardu yang terletak diujung taman makam bersama dengan
kawan-kawan, ada yang minum kopi, ada yang menghitung uang hasil pembuatan
rumah persemayaman akhir, dan sisanya dengan suka ria bermain kartu gaple
dengan uang hasil kerja membuatkan tempat bagi orang yang akan menghadap Allah
itu.
Kisah diatas terkesan ironis. Para
penggali kubur itu mestinya menjadi orang yang paling ingat dan dekat Allah.
Pekerjaan penggal kubur seharunya menyadarkan mereka tentang kematian. Akhirat.
Dan umur manusia yang sepenuhnya berada di tangan tuhan. Namun, karena
pekerjaan itu telah menjadi profesi dalam mencari uang, mesti setiap hari
melihat kematian, mendengar ceramah-ceramah tentang kengerian siksaan di alam
barzakh, melihat tangis keluarga yang ditinggal mati oleh si mayat, maka
seluruh peristiwa seperti lewat begitu saja.
Semua peringatan tentang dahsyatnya siksa
di akhirat yang disampaikan oleh ulama,
ibaratnya, masuk telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiri, tak ada yang
mengendap di otak hatinya. Fenomena yang ada kemiripan dengan kisah para
penggali kubur adalah kisah beberapa penyelenggara kajian tasawuf dan guru-guru
spiritualitas di kota-kota metropolitan, mereka yang semata-mata memiliki
orientasi bisnis dalam mengelola pengajian tasawuf dan mereka yang menjadikan
pekerjaan ceramah tentang misitisisme atau dimensi batiniah agama sebagai profesi
duniawi, secara psikologis apa yang terjadi pada diri mereka tidaklah berbeda
dengan para penggali kubur seperti yang cerita diatas.
Bagi lembaga tasawuf dengan motif materi,
target mereka adalah kuantitas peserta. Semakin banyak peminat dan pendaftar
sebuah kajian yang diadakan, maka semakin tebal koceknya dan semakin mencuat
pamonya. Mereka bisa tertawa-tawa kesenangan sambil menghitung pendapatan di
kantor lembaga ketika manusia-manusia yang terjaring oleh iklan kajian, disaat
mereka berada dikelas meneteskan airmata karena mengingat kematian, menyadari
kesalahan-kesalahan mereka pada masa lampau. Meski aktifitas yang mereka adakan
bisa membuat puluhan manusia bertobat kepada Allah, namun tak ada satu
kalimatpun daro untaian kata-kata dosen tasawuf yang hinggap dihati mereka.
Mereka bisa membuatkan sarana bagi orang lain untuk mendapatkan cahaya,
sementara diri mereka sendiri tetap berada dalam kegelapan.
Bagai mana dengan guru-guru tasawuf atau
spiritual? Beberapa diantara mereka ada yang memiliki sifat yang unik pula
dalam kaitanya dengan “gali-mengali kubur”. Tak perlu diherankan bila kadang
terdapat kompetisi sesame dosen untuk merebut pengaruh para peminat kajian
tasawuf yang kebetulan merupakan orang-orang yang memiliki status ekonomi
mapan. Banyak hal yang kadang terasa kontradiktif antara ucapan-ucapan yang
keluar dalam ceramah mereka dan prilaku serta tabiat seharai-hari, antara sikap
mereka di hadapan para peserta kajian dan beberapa yang secara materi tak bisa
diharapkan.
Bisa jadi apa yang dideskripsikan dalam
catatan-catatan ini terasa absurd bagi pembaca karena tidak memiliki data
kongkrit dan bukuan merupakan hasil penelitan yang serius dan terkendali. Namun
secara psyklogis bisa difahami bahwa penyelenggara kegiatan tasawuf dan
guru-guru tasawuf bukanlah orang-orang yang sepi dari pamrih dan mitivasi hidup
duniawi. Karena itu, hal-hal yang mungkin terjadi pada masyarakat umum tidak mustahil
ada pada diri mereka. Pendeknya, seleksi lembaga dan memilih seorang mursyid
tasawuf harus betul-betul hati-hati.
Category:
0 komentar