Kisah Penggali Kubur

Unknown | 04.19 | 0 komentar


Disebuah desa, sebut saja desa itu sesa adakedabra—ada beberapa orang yang menjadikan pekerjaan mengali kubur sebagai profesi final. Pada beberapa orang inilah terdapat beberapa karakter khusus dan kebiasaan “menarik” berkaitan dengan pekerjaan sebagai tukang gali persemayaman orang yang baru meninggal dunia. Apa sifat “istimewa” dan tradisi unik mereka? Para tukang gali kubur itu kan baru bisa mendapatkan uang bila ada orang yang meninggal dunia. Semakin banyak orang yang meninggal, maka semakin banyak pula pundi-pundi rezekinya.

Setiap hari mereka berharap ada orang yang dikunjungi oleh izrail, sang pencabut nyawa. Mereka akan kegirangan dan bersuka-cita bila dapat menghantarkan sebanyak mungkin orang menghadap Tuhan, menyediakan ruangan bagi orang yang hendak menginap di alam barzakh.

Apa yang dilakukan para tukang gali kubur ini ketika liang lahat telah usai dan mayat-mayat mulai di masukkan satu persatu ke ruang-ruang mereka bersamaan dengan isak tangis keluarga dan para pelayat. Mereka duduk digardu yang terletak diujung taman makam bersama dengan kawan-kawan, ada yang minum kopi, ada yang menghitung uang hasil pembuatan rumah persemayaman akhir, dan sisanya dengan suka ria bermain kartu gaple dengan uang hasil kerja membuatkan tempat bagi orang yang akan menghadap Allah itu.

Kisah diatas terkesan ironis. Para penggali kubur itu mestinya menjadi orang yang paling ingat dan dekat Allah. Pekerjaan penggal kubur seharunya menyadarkan mereka tentang kematian. Akhirat. Dan umur manusia yang sepenuhnya berada di tangan tuhan. Namun, karena pekerjaan itu telah menjadi profesi dalam mencari uang, mesti setiap hari melihat kematian, mendengar ceramah-ceramah tentang kengerian siksaan di alam barzakh, melihat tangis keluarga yang ditinggal mati oleh si mayat, maka seluruh peristiwa seperti lewat begitu saja.

Semua peringatan tentang dahsyatnya siksa di akhirat  yang disampaikan oleh ulama, ibaratnya, masuk telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiri, tak ada yang mengendap di otak hatinya. Fenomena yang ada kemiripan dengan kisah para penggali kubur adalah kisah beberapa penyelenggara kajian tasawuf dan guru-guru spiritualitas di kota-kota metropolitan, mereka yang semata-mata memiliki orientasi bisnis dalam mengelola pengajian tasawuf dan mereka yang menjadikan pekerjaan ceramah tentang misitisisme atau dimensi batiniah agama sebagai profesi duniawi, secara psikologis apa yang terjadi pada diri mereka tidaklah berbeda dengan para penggali kubur seperti yang cerita diatas.

Bagi lembaga tasawuf dengan motif materi, target mereka adalah kuantitas peserta. Semakin banyak peminat dan pendaftar sebuah kajian yang diadakan, maka semakin tebal koceknya dan semakin mencuat pamonya. Mereka bisa tertawa-tawa kesenangan sambil menghitung pendapatan di kantor lembaga ketika manusia-manusia yang terjaring oleh iklan kajian, disaat mereka berada dikelas meneteskan airmata karena mengingat kematian, menyadari kesalahan-kesalahan mereka pada masa lampau. Meski aktifitas yang mereka adakan bisa membuat puluhan manusia bertobat kepada Allah, namun tak ada satu kalimatpun daro untaian kata-kata dosen tasawuf yang hinggap dihati mereka. Mereka bisa membuatkan sarana bagi orang lain untuk mendapatkan cahaya, sementara diri mereka sendiri tetap berada dalam kegelapan.

Bagai mana dengan guru-guru tasawuf atau spiritual? Beberapa diantara mereka ada yang memiliki sifat yang unik pula dalam kaitanya dengan “gali-mengali kubur”. Tak perlu diherankan bila kadang terdapat kompetisi sesame dosen untuk merebut pengaruh para peminat kajian tasawuf yang kebetulan merupakan orang-orang yang memiliki status ekonomi mapan. Banyak hal yang kadang terasa kontradiktif antara ucapan-ucapan yang keluar dalam ceramah mereka dan prilaku serta tabiat seharai-hari, antara sikap mereka di hadapan para peserta kajian dan beberapa yang secara materi tak bisa diharapkan.

Bisa jadi apa yang dideskripsikan dalam catatan-catatan ini terasa absurd bagi pembaca karena tidak memiliki data kongkrit dan bukuan merupakan hasil penelitan yang serius dan terkendali. Namun secara psyklogis bisa difahami bahwa penyelenggara kegiatan tasawuf dan guru-guru tasawuf bukanlah orang-orang yang sepi dari pamrih dan mitivasi hidup duniawi. Karena itu, hal-hal yang mungkin terjadi pada masyarakat umum tidak mustahil ada pada diri mereka. Pendeknya, seleksi lembaga dan memilih seorang mursyid tasawuf harus betul-betul hati-hati.

Sumber; Buku “Tarekat Tanpa Tarekat”. Ahmad Najib Burhani

Category:

About GalleryBloggerTemplates.com:
GalleryBloggerTemplates.com is Free Blogger Templates Gallery. We provide Blogger templates for free. You can find about tutorials, blogger hacks, SEO optimization, tips and tricks here!

0 komentar