Narsis dan Kelainan jiwa
Orang Yunani memiliki tokoh metologi, narsisus, yang jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Tiap kali memandang dirinya di permukaan air, Narsisus kagum akan ketampanan wajahnya.
Novelis humoris dan tangkas memainkan ironi, Paulo Coelho, dalam kisah pembuka novelnya, The Alchemist, menceritakan betapa banyak peri hutan merasa iri kepada telaga, tempat tiap pagi Narsisus mengagumi dirinya.
“ Enak ya kamu, tiap pagi memandang wajah tampan dan mata jernih itu,” kata peri hutan.
“Apa dia tampan dan matanya jernih?”
Lho,kamu melihatnya tiap pagi bukan?”
“tidak. Aku tak sempat melihatnya sebab tiap kali ia jongkok di tepiku, aku sibuk memandang kejernihan wajahku sendiri yang terpantul di matanya.”
Saya kagum membaca ketangkasan humor novelis ini. Dengan ringkas dan bagus ia hendak mengatakan, seperti para psikologi yang berurusan dengan “abnormalitas” bahwa si telaga, mungkin maksudnya kita sering lebih narsisus daripada narsisus itu sendiri. Sering kita berperilaku tidak sehat, narsisme, tetapi tidak menyadari bahwa kita mengidap gangguan jiwa.
Gejala tidak sehat ini direkam pula dalam Alice Miller, The Drama of the Gifted Child: The search for The True Self (Drama anak-anak Kita: Membedah Sanubari Mencari Jati Diri Sejati) yang menguraikan betapa anak di dunia menjadi korban watak narsisme orang tua meraka sendiri.
Kemudian anak-anak itu berangkat dewasa, secara narsis pula. Dan ketika menajadi orang tua, merekapun memperlakukan anak-anak seperti dulu mereka di perlakukan secara tak sehat.
Cinta orang tua narsistis tadi, pada hakekatnya wujud cinta pada diri mereka sendiri. Orangtua menyayangi anak bukan demi sianak melainkan demi diri sendiri, dan kitapun sering dihadapkan pada sikap tak terduga. Anak yang tampak manis dan lembut ternyata menyimpan potensi “bom” rasa cemas, takut, frustrasi, juga demam secara sosial, dan dengan mudah meledek. Anak bunuh diri tanpa alasan yang masuk akal. Orang dewasa dengan kejam membunuh orangtua, istri, suami, atau anak sendiri juga tanpa alasan masuk akal.
Tentu saja tidak masuk akal, sebab semua alasan terpendam dibawah sadar, disembunyikan rapat dibalik rsa cemas yang disulap menjadi kepatuhan. Mereka patuh bukan karena patuh, tapi karena takut.
Menjadi anak saja sudah sulit. Apalagi menjadi anak yang otoriter. Menjadi rakyat itu sulit, jalan macet, dan harus dan harus mengalah dengan frustrasi tiap kali ada pejabat lewat dengan kawalan polisi.
Kita takut pada orang tua yang otoriter, guru galak, polisi, satpam, tentara, pengawal presiden atau wakil presiden, ajudan menteri yang lebih dari menteri, atasan di kantor yang melebihi kuasa tuahan, dan sikap banyak Bank yang mempekerjakan preman kejam menjadi “debt collecter” berjiwa jin dan hantu.
Mengapa kita sering membikin takut orang lain, dengan, dengan rasa bangga? Mengapa kecemasan orang lain menjadi kebahagiaan kita? mungkin karena kita tak sepenuhnya waras.
Para salebriti intelektual maupun yang sama sekali tidak intelek dan sebetulnya membosankan hati-hatilah terhadap pengagum, atau pecinta panatik. Banyak tokoh dunia dibunuh juga gandi yang mulia dan agung oleh pecinta dan pengagum panatiknya.
Mengapa banyak pecinta dan pengagum fanatic pada tokoh publik? Mungkin karena pada dasarnya banyak orang tak pernah mendapat dan karena itu membutuhkan cinta dan kekaguman. Lalu mereka mengagumi orang lain demi diri mereka sendiri.
Pengagum sobat saya, kiai AAgym, berbalik menjadi dengki, marah, mengutuk, karena sobat ini di anggap cermin diri mereka, tapi cermin itu dibikin retak. Diri mereka yang cemas, merasa kurang, merasa rendah, dan berharap, tiba-tiba dikecewakan. Dulu AAgym pasti tak terlalu sadar bahwa kekaguman yang mejulang kelangit dari begitu banyak wwarga butuh kagum, pada dasarnya juga potensi kebencian. Kiai ini mungkin mengira mereka kagum ada dirinya, padahal orang-oarang itu kagum hanya pada diri mereka sendiri seperti Narsisus dan telaga dan telaga dungu itu.
Cinta mereka tak sama dengan pada Negara, yang menurut Jhon Lenon membuat orang rela “to kill or die for” rela berkorban. Cinta dan kekaguman publik pada tokoh agama, seni, ilmu, filsafat, dan tokoh politik yang bisa degan menang pemilu, disertai “bom” kemaran, jengkel, kecewa, benci, dan niat balas dendam, dari memanggul setinggi langit keniat mengubur dalam-dalam hingga kebencian terpuaskan.
Sekarang para tokoh politik mungkin mulai sadar, betapa tak sehat pemujaan politik di masyarakat. Sang Terpuja, pelan-pelan diancam kebencian, kemurahan, rasa kecewa, frustrasi, dan serangan politik bertubi-tubi. Musuh politik menari-nari di atas kebencian terhadap orang lain.
Ini pun sebenarnya kedunguan yang tak di sadari. Dikiranya dirinya tak mungkin dikenai sikap serupa. Kenapa kita tak mampu mengelola cin tadan kekaguman tetap menjadi cinta dan kekaguman?
Jawabnya: Karena kita terbius popularitas. Kita terbius aroma pujaan, dan lupa membalas dengan kerja keras untuk mewujudkan harapan. Jangan lupa, di dunia politik, pendukung, pecinta, pemuja, tim sukses, intinya mendukung, mencintai, memuji, dan menyukseskan harapan mereka sendiri. Begitu harapan dikecewakan, mereka siap mengasah pedang pembunuh naga.
Pengagum, atau pemuja, juga dungu. Orang kok dipuji. Salah sendiri. Watak fanatis harus diubah. Kita mencintai, atau memuji secara dewasa. Dan kalauorang cukup dewasa, ia tak perlu pujaan. Akal, rasionalitas, dan hati harus seimbang supaya kita bisa meminta dan bisa memberi.
Kalau memberi cinta dan pemujaan ya harus memberi. Kita tak boleh terus-menerus naïf, cengeng dan mentah dalam menyikapi tokoh. Kita tidak boleh dekat dengan Narsisus.
Sumber : Artikel Kompas
Category:
0 komentar