Kearifan Budaya Lokal Menghadapi Tantangan Global
Memang sudah
banyak yang mengumandangkan pentingnya menumbuh-suburkan kembali kearifan
budaya lokal. Misalnya tentang Kawruh-Kalang dan Petungan Jawa,
Hasta-Kosala-Kosali dan Tri Hita Karana Bali, Pela Gandong Ambon, dan
lain-lain. Namun kenyataannya kearifan budaya lokal yang sangat kaya dan
beragam di tanah air kita cenderung mandek, stagnan, karena kurang greget untuk
mentransformasikannya sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Kebanyakan
lantas berhenti sekadar sebagai regressive identity dan tidak berkembang
menjadi progressive identity.
Pelestarian
bangunan kuno bersejarah pun lebih diartikan sebagai pengawetan (preservasi),
tanpa diikuti dengan upaya pemanfaatannya dengan memberi fungsi baru yang
tanggap terhadap dinamika perubahan (konservasi). Kurang gairah untuk
menciptakan karya baru yang menjadi tengeran semangat jaman, spirit of the Age
atau zeitgeist. Obsesi terhadap teknologi kian menguat, sedangkan upaya
pencarian makna budaya kian meluntur. Meminjam kata-kata John Naisbitt et al,
dalam bukunya “High Tech, High Touch: Technology and Our Search for Meaning.”
(1999) : “The Band-Aid culture of the quick fix is ultimately an empty one.”
Budaya potong kompas, siap saji, serba instan, mental menerabas
(Kuntjaraningrat) berpotensi kian melunturkan jatidiri. Upaya mentransformasi
kearifan budaya lokal untuk menghadapi tantangan global menjadi conditio sine
qua non agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa multikultur yang
beradab.
Diskusi Panel
sebagai rangkaian kegiatan Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 55. yang
mengangkat tema “Transformasi Kearifan Budaya Lokal Menghadapi Tantangan
Global”, diprakarsai Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(KK-AIPI) bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Universitas
Diponegoro (UNDIP) Semarang ini akan dilaksanakan di : Pada hari Sabtu,
13 Oktober 2012, di Ruang Sidang Senat Universitas Diponegoro, Kampus Pleburan,
Jalan Imam Barjo SH no. 7, Semarang.
Diskusi,
bermaksud mengungkap permasalahan dan mencari upaya terobosan mentransformasi
kearifan budaya lokal yang tesebar di seluruh pelosok Nusantara, agar dari
hasil transformasi kearifan budaya lokal yang dikaji secara multi disiplin dan
transdisiplin itu dapat dikembangkan dan diterapkan dalam meningkatkan kualitas
kehidupan manusia di era global abad ke-21 ini”, antar Eko Budihardjo, pemerhati
pendidikan dan pakar arsitektur diawal acara.
Senada dengan
itu, Sekretaris Jenderal AIPI, Budhi M. Suyitno mencontohkan kebudayaan Korea
Selatan yang dikenal dengan nama K-Pop mulai merambah negara-negara lain di
dunia, termasuk Indonesia. "Kalau saya melihat, tarian ’Gangnam Style’
yang termasuk K-Pop itu hampir seperti Jathilan (kuda lumping). Kita juga punya
tarian kuda lumping. Bahkan, lebih bagus dibandingkan mereka (K-Pop),"
katanya.
Karena itu, ia
mengatakan Indonesia punya banyak sekali potensi kearifan lokal yang semestinya
dikelola dengan baik, dilestarikan, dan dikenalkan secara lebih luas kepada
dunia internasional. Melalui forum AIPI itu, kata dia, diharapkan banyak
pemikiran yang dihasilkan dari para pakar berkaitan dengan kearifan lokal, yang
selanjutnya akan menjadi rekomendasi dan masukan kepada Presiden. "AIPI
ini adalah lembaga yang berada di bawah Presiden berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8/1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hasil kajian ini akan
kami rekomendasikan pada Presiden," kata Budhi.
Hadir
Toeti Heraty Noerhadi, Ketua Komisi Kebudayaan AIPI membawakan
makalah kunci, dilanjutkan para panelis sesuai dengan disiplin ilmu
yang digulati masing-masing: Kusmayanto Kadiman, Bidang Teknologi; Edy
Suandi Hamid, Bidang Ekonomi; Ichlasul Amal- Bidang Sosial Politik;
Sudharto P.Hadi (Rektor Undip),- Bidang Lingkungan; Edi Sedyawati- Bidang
Kebudayaan; Franz Magnis Suseno (Budayawan- Bidang Filsafat; La Ode
Kamaludin (Rektor Unnisula)-Bidang Religi
Diskusi Panel
dengan moderator Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Umar Anggara Jenie,
memandu jalannya diskusi yang dihadiri oleh anggota Komisi Kebudayaan
AIPI, anggota Komisi lain yang berminat; Wakil Kementerian/Lembaga terkait,
Para anggota Forum Rektor Indonesia, Rektor, Pembantu Rektor, Dekan serta Dosen
UNDIP dan Perguruan Tinggi lainnya sekitar Semarang Jawa Tengah, LSM terkait,
Pegiat dan Pemerhati Kebudayaan.
Prof Laode
menyampaikan bahwa tidak semua kearifan Budaya Lokal itu baik di era
Globalisasi saat ini banyak kekhawatiran bahwa budaya lokal akan punah,
sehingga banyak pula yang mempertahankan dan melestarikan kearifan budaya
lokal, namun ternyata tidak semua budaya lokal itu baik dan bisa diangkat
secara global, karena ada beberapa kearifan lokal yang justru merusak tatanan
masyarakat ketika itu dilestarikan. Oleh sebab itu Agama dalam hal ini Islam
sebagai Rahmatan lil Alamin harus menjadi penyaring bagi budaya yang kurang
baik. “Agama adalah backbon dari suatu kearifan lokal karena tidak semua
kearifan lokal itu bisa diangkat secara global contohnya ada budaya disuatu
daerah sebelum mengambil keputusan mereka selalu melakukan ritual minum-minuman
keras, sampai mabok-mabokan, sesudah itu mereka baru mengambil keputusan.
budaya seperti ini harus disaring oleh agama, nah agama yang mengatur dalam
mengambil keputusan harus dalam kondisi yang baik sementara minuman keras
adalah budaya yang tidak relevan dengan persoalan-persoalan yang sifatnya
global itu. Dalam konteks ini Islam sebagai agama rahmatan lil alamin menjadi
jawaban atas semua ini” jelas Rektor Unissula tersebut.
Prof Laode yang
juga ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) 2013 menambahkan, pentingnya
peran teknologi informasi seperti internet untuk menyampaikan pesan-pesan
budaya lokal tersebut.“Yang jadi permasalahan adalah konten atau message yang
mau disampaikan melalui teknologi itu yang kemudian agama memperkuatnya
sehingga bisa diseleksi informasi-informasi yang cocok dengan budaya-budaya
local khususnya masyarakat Indonesia. Karena Indonesia saat ini merupakan
Negara pengguna Internet Terbesar ke empat setelah Cina, India dan Jepang yakni
30,9%”. Tandas Pria lulusan IOWA University Amerika Serikat tersebut.
Luaran
yang ditargetkan adalah merumuskan Masukan, Rekomendasi dan Pandangan AIPI atas
hasil transformasi kearifan budaya lokal yang dikaji secara multi disiplin dan
transdisiplin itu dapat dikembangkan dan diterapkan dalam meningkatkan kualitas
kehidupan manusia di era global abad ke-21 ini”, ujar Eko Budihardjo, anggota
Komisi Kebudayaan selaku ketua pelaksana di sessi rangkuman dan
penutupan. ***(ifa/keb-aipi/biroiptek/X/2012)
Category: BUDAYA
0 komentar